Seni Berpolitik di Media Sosial
Rabu, 16 Oktober 2024 18:50 WIB
Iklan
Inilah cara Generasi Y, Z, dan X mengekspresikan pandangan politik mereka di media sosial. Di sana ada pengaruh ego, simbol, dan algoritma. Menarik meninjau perilaku Generasi Alfa dalam konteks politik digital.
***
Di era modern, media sosial menjadi panggung baru bagi ekspresi politik. Seperti kanvas kosong, platform-platform digital memberikan ruang tak terbatas bagi individu untuk menyuarakan pandangan, opini, dan identitas politik mereka. Namun, di balik layar kaca itu, tersembunyi kekuatan yang lebih besar dari sekadar interaksi manusia. Algoritma, likes, dan engagement menjadi penentu utama narasi politik yang kita lihat, seolah menciptakan ilusi kebebasan berekspresi. Dalam ruang ini, politik berubah menjadi permainan simbol dan tanda, di mana individu lebih sering memanipulasi citra diri daripada murni mengejar perubahan nyata.
Ekspresi politik di media sosial bukanlah fenomena yang dangkal. Ia tumbuh dari dinamika sosial yang terus berkembang, terutama dalam kelompok generasi muda seperti Gen Y dan Gen Z. Generasi Z, dengan kecepatan dan spontanitas mereka, memilih platform seperti TikTok dan Instagram untuk menyuarakan pandangan politik. Mereka berbicara melalui video singkat yang padat, penuh dengan efek visual, tagar (#), dan filter, seolah menggabungkan seni dan politik dalam satu kesatuan. Di sisi lain, Generasi Y memilih jalan yang berbeda, menggunakan platform seperti Facebook untuk menyebarkan artikel panjang, analisis yang mendalam, dan opini-opini yang lebih struktural. Dua generasi ini menunjukkan betapa berbedanya cara mereka menggunakan media sosial untuk mengartikulasikan ekspresi politik.
Namun, di balik ragam platform tersebut, ada pola yang lebih subtil—algoritma. Algoritma media sosial, seperti dalang yang tak terlihat, mengatur aliran informasi yang kita lihat setiap hari. Apa yang kita anggap sebagai pilihan bebas dalam berekspresi, sebenarnya adalah hasil dari serangkaian filter digital yang dirancang untuk meningkatkan keterlibatan. Gen Z mungkin merasa bahwa video mereka yang viral menunjukkan pandangan politik yang murni, tetapi sebetulnya, algoritma telah memilih video tersebut karena dianggap relevan atau populer. Dengan demikian, seni berpolitik di media sosial adalah seni bermain dengan algoritma—sebuah permainan yang tak pernah sepenuhnya kita sadari.
Seperti halnya musang yang licik, ekspresi politik di media sosial sering kali mengecoh kita. Ada ilusi kebebasan dalam setiap unggahan, komentar, dan reaksi yang kita lihat. Kita merasa terlibat dalam perdebatan politik yang besar, padahal apa yang kita alami hanyalah percikan kecil dari realitas yang lebih kompleks. Kita mengira sedang berpartisipasi dalam demokrasi digital, namun sebenarnya kita berada dalam ruang gema (echo chamber) yang memperkuat pandangan kita sendiri, tanpa menyadari bahwa algoritma terus menyaring informasi yang kita terima. Pada akhirnya, politik di media sosial menjadi arena permainan simbolik, di mana citra dan persepsi lebih penting daripada substansi.
Di sinilah interaksionisme simbolik masuk sebagai teori yang relevan. George Herbert Mead dan Herbert Blumer menyatakan bahwa makna-makna sosial, termasuk simbol-simbol politik, dibentuk melalui interaksi manusia. Dalam konteks media sosial, simbol-simbol ini—hashtag, meme politik, emoji, dan video pendek—menjadi representasi politik yang sangat kuat. Generasi Z, misalnya, menciptakan identitas politik mereka melalui penggunaan simbol-simbol ini, membentuk komunitas online yang didasarkan pada pemaknaan bersama terhadap isu-isu politik. Namun, makna dari simbol ini tidaklah tetap. Ia terus berkembang melalui dialog, diskusi, dan interaksi dengan pengguna lain.
Ironisnya, ekspresi politik yang muncul di media sosial sering kali hanya mencerminkan apa yang kita ingin lihat dan dengar. Algoritma memperkuat hal ini dengan menyajikan konten yang sejalan dengan preferensi kita, menciptakan lingkungan politik yang tertutup. Seolah-olah, media sosial telah menjadi labirin simbol politik di mana kita terus berputar-putar, terjebak dalam pandangan kita sendiri tanpa pernah benar-benar melihat realitas politik yang lebih luas. Dalam situasi ini, ekspresi politik di media sosial menjadi lebih tentang menciptakan citra diri daripada berusaha mendorong perubahan substansial.
Generasi Y, yang tumbuh di masa transisi teknologi, cenderung lebih kritis terhadap cara mereka mengekspresikan pandangan politik. Mereka melihat media sosial sebagai alat, bukan tujuan. Mereka memanfaatkannya untuk menyebarkan informasi yang lebih mendalam, seperti artikel analisis atau opini yang panjang, berharap dapat mempengaruhi opini publik secara lebih serius. Di sisi lain, Gen Z yang lahir di era digital, lebih memilih cara ekspresi yang cepat dan visual. Mereka menggunakan media sosial sebagai cara untuk "berbicara" tanpa harus berkata banyak, memanfaatkan simbol dan tanda sebagai bahasa politik mereka.
Di balik semua ini, ada satu pertanyaan mendasar: apakah ekspresi politik di media sosial benar-benar bermakna? Dalam banyak kasus, apa yang terlihat sebagai aksi politik sering kali hanyalah respons emosional terhadap isu-isu yang viral. Media sosial memberi ruang bagi individu untuk bereaksi cepat, tetapi kecepatan ini sering kali mengorbankan kedalaman. Generasi Z mungkin mengunggah video TikTok untuk mendukung sebuah gerakan, tetapi seberapa besar aksi itu benar-benar mempengaruhi perubahan politik? Seperti yang dikatakan oleh McIntosh, Hart, dan Youniss (2007), keterlibatan pasif—hanya dengan "like" atau "share"—belum tentu mencerminkan partisipasi politik yang nyata.
Tidak jauh berbeda, Generasi X, meski lebih lambat dalam beradaptasi dengan teknologi, juga mulai merangkul media sosial sebagai alat ekspresi politik. Mereka lebih konservatif dalam pendekatan mereka, lebih hati-hati dalam berbagi informasi dan pandangan politik. Namun, ini tidak berarti mereka kurang berpengaruh. Generasi ini membawa pengalaman hidup yang panjang dan pemahaman mendalam tentang konteks politik yang lebih luas. Dalam diskusi yang lebih mendalam, mereka sering kali menjadi jembatan antara Generasi Y dan Z, menawarkan perspektif historis yang kaya dan pengalaman hidup yang nyata.
Masa depan ekspresi politik, bagaimanapun, tampaknya akan sangat bergantung pada Generasi Alfa. Mereka yang saat ini baru memasuki masa remaja akan tumbuh di tengah teknologi yang jauh lebih canggih, di mana kecerdasan buatan dan augmented reality menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Generasi ini, yang benar-benar lahir dalam dunia digital, akan memiliki cara baru dalam mengekspresikan diri secara politik. Bisa jadi, ekspresi politik mereka akan lebih tersaring oleh teknologi, dengan batasan yang lebih kabur antara dunia maya dan dunia nyata.
Mungkin, Generasi Alfa akan menggabungkan elemen-elemen ekspresi politik visual Generasi Z dengan kedalaman analisis yang lebih mirip Generasi Y, menciptakan sinergi yang lebih kompleks antara simbol dan makna. Dalam lanskap politik yang semakin cair, ekspresi politik akan menjadi lebih fleksibel dan adaptif, menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi yang terus berubah.
Namun, kita tidak dapat menafikan kekuatan media sosial dalam membentuk opini politik publik. Meskipun ada keterbatasan dalam hal kedalaman partisipasi, media sosial telah membuka ruang baru bagi diskusi politik yang sebelumnya sulit diakses oleh banyak orang. Generasi X, Y, Z, dan Alfa dengan cara mereka masing-masing, menggunakan media sosial untuk menyuarakan pandangan politik mereka, meskipun dengan pendekatan yang berbeda. Media sosial telah menjadi arena utama bagi ekspresi politik modern, di mana setiap unggahan, video, atau komentar dapat mempengaruhi opini dan pandangan politik secara luas.
Pada akhirnya, seni berpolitik di media sosial adalah seni bermain dengan ilusi. Ada kebebasan yang terasa nyata, tetapi di balik kebebasan itu ada batasan-batasan yang ditentukan oleh algoritma dan lingkungan digital yang kita ciptakan. Ekspresi politik yang muncul mungkin tidak selalu mencerminkan pandangan yang paling mendalam, tetapi mereka adalah bagian dari proses yang terus berkembang. Seperti halnya musang yang selalu beradaptasi dengan lingkungannya, kita juga harus belajar beradaptasi dengan dunia politik digital yang terus berubah.
Sumber gambar: Daily Sabah

Imigran surga, (dulu) Penyair
0 Pengikut

Gen Z: Generasi Manipulatif?
Kamis, 17 Oktober 2024 14:04 WIB
Seni Berpolitik di Media Sosial
Rabu, 16 Oktober 2024 18:50 WIBArtikel Terpopuler